In Love In 17th - PART 2 -

Part 2

Siapkan Senjata, Perang dimulai!


     DPR (dibawah pohon rindang), tempat paling teduh disekolah.  Setiap hari saat jarum jam menusuk angka 2, bel pulang pun bersenandung. Setiap kaki berselimutkan sepatu mengajukan aspirasinya untuk segera membebaskan langkah keluar dari penatnya ruang belajar. Siang itu, matahari terlalu cerah untuk berperang dengan awan sehingga awan pun dapat dikalahkan oleh sinar matahari. Bersama Aya dan Rara, aku berdiri seraya berteduh ditempat yang kami sebut DPR. Aya menunggu masboynya keluar dari kelas. Oh iya, aku lupa menceritakan ini.
     Aya dan Rara adalah sahabatku sejak SMP. Aya, yang terkadang terlalu macho untuk dikatakan wanita namun juga selalu cantik melebihi Miss Universe, merupakan seorang gadis yang selalu sibuk dengan percintaan remajanya. Sampai saat ini, Aya berhasil ditaklukan oleh 4 cowok charming, namun sayang, mereka bukanlah pangeran Aya yang sesungguhnya. Aya terlalu polos untuk dikibuli, terlalu baik untuk dikhianati, juga terlalu cantik untuk cowok minder. Pada akhirnya, seorang cowok cool berani PD dan punya keyakinan tinggi memenangi hati Aya, dia adalah Rido – masboy-nya Aya. Sementara Rara, gadis berkawat gigi, sampai saat ini masih menjaga giginya, eh maksud aku menjaga hatinya untuk seseorang yang telah ditakdirkan Tuhan akan hidup dengannya suatu hari nanti.
     “Ridoooooo!”. Aya menyiarkan suaranya.
     “Iya Sayang, jangan teriak-teriak”
     “Mana?”
     Kata ”mana” itu selalu keluar dari mulut Aya, dia selalu meminta Rido memberikan handphone kepadanya. Yeahh, Aya memang posesif, cemburuan dan kadang kekanak-kanakan bila bersama Rido. Tapi bagi Rido, seburuk apapun Aya semarah-marahnya dia pada Aya dia tidak akan melantunkan kata putus, begitu juga Aya. Mereka pacaran dengan cara mereka sendiri, tak peduli apa yang orang pikirkan yang penting kedua orangtua mereka saling menyetujui hubungan mereka. Bahagianya melihat temanku yang satu ini menjalani hari-hari indahnya bersama Rido.
     Back to the scene. Rido dan Aya asyik bercakap. Rara sudah terlebih dahulu meninggalkan kami. Aku sibuk sendiri mencari apa yang bisa kupandang. Tahun ini tak seperti 2 tahun yang sudah kulalui disekolah. Setiap hari aku memandangi karya Tuhan yang begitu indah dan mempesona. Seorang lelaki yang bisa dianggap sebagai lelaki idaman setiap wanita. Wajahnya tampan, senyumnya indah, cerdas, taat beribadah dan tubuhnya gagah walaupun tidak terlalu tinggi. Aku jatuh hati padanya sejak pandangan pertama dua tahun silam. Dia adalah Malik, seniorku. Dan sekarang dia telah pergi meninggalkanku, pergi ke luar kota, untuk melanjutkan studinya demi menggapai cita-citanya. Namun hariku tak pernah luput dari bayangnya yang selalu hadir menyapaku. Aku masih disini untuknya, sebagai seorang “pengagum rahasianya”.
     Seketika terlintas dimataku seseorang yang baru saja mencuri perhatianku. Aku masih menjadi pengagum rahasianya Malik. Tapi orang ini seolah menyita waktuku yang seharusnya kuhabiskan dengan bayangannya Malik. Dia seakan merebut hatiku dari Malik, tapi aku masih belum yakin tentang perasaan ini – Aku sangat jengkel dengan hal ini. Mengapa aku tiba-tiba jadi berpikir tentang hal aneh seperti ini? Pikiranku benar-benar telah goyah, bayangan Malik tiba-tiba pudar dan mataku terpusat pada seseorang yang tak kukenali. Bagaimana bisa ini terjadi? Bukankah Malik adalah lelaki idamanku, dia tidak ada bandingannya dengan siapapun. Apa mungkin aku jatuh cinta pada orang ini? Oh tidaaaak.
     “Hei bunga! Bunga! helloooo”
     “Haah”
     Kacau. Pikiranku seolah pecah karna aku kaget. Aku tak sadar disampingku ada Ferdi yang sedari tadi menegurku. Dia menepuk bahuku dan menyadarkan aku dari lamunanku.
     “Kenapa sih? Bunga lihat apa? Oooh Dimas. Hayooo lo suka ya?”
     “hah? Apaan enggak kok. Kenal aja enggak.”
     Mataku dengan sinis melihat Ferdi yang wajahnya serupa dengan singa yang hendak mengaung kegirangan melihatku. Sontak Aya dan Rido memerhatikan kami dan mulai berkicau.
     “cieee fallin’in love nih ceritanyaaa”
     “udahlah, kasian si Bunga jadi malu tuh, udah taukan namanya Dimas. Dia sekelas sama masboy gue sama Ferdi jugak loh bung!”
     “jadi bener suka lo nge? Biar gue kasih tau nih, dia care loh unge!”
     “apasih perde, diam deh”
     Aku malu karena si perde a.k.a Ferdi akhirnya tahu tentang hal yang sebenarnya aku masih membimbangkannya. Ferdi cukup lama ku kenal, orang yang percintaannya hanya bertatap layar handphone dan berbicara menggunakan tombol qwerty. Sudah sekian banyak wanita dunia maya yang menjalin kisah LDR bersamanya.
     Inilah saat dimana perang itu dimulai. Memalukan. Aku gugup, panik, dan jantungku seakan sedang ada perlombaan kuda berpacu – pacuannya begitu dahsyat, sungguh tak bisa ku kendalikan. Ferdi benar-benar membuatku panik, dia datang menemui Dimas yang sedang duduk bersama teman-temannya. Entah apa yang dia katakan pada Dimas sehingga Dimas berpaling ke arahku dan dia tersenyum. Huaaaa. Ini gila. Bagaimana bisa ini terulang. Rasanya sama seperti ketika Malik pertama kali senyum padaku. Hanya saja geloranya terasa lebih meriah. Sesaat senyumannya membuat aku berpikir bahwa rasanya ini tak sama lebih hebat, dan mereka jelas jauh berbeda. Tapi jika ini benar, akan ku hadapi.

to be continue


 

Postingan populer dari blog ini

Australia Awards Scholarship Application Experience!

Accepting, letting go, healed.

My memories of Him