Terlintas
Suatu ketika pada malam yang dingin karena suhu air conditioner yang memuncak 16°C, aku sendirian, ditemani beberapa bayangan pantulan lampu tidur yang menambah pandangan mata sebelum tidur. Saat itu, aku memikirkan tentang hidup yang indah ini. Dunia ini yaa seperti itu, mengulang aktivitas yang sama setiap harinya, nan bagus bila dia berimprovisasi menjadikan pribadi lebih baik lagi namun menyedihkan bila terasa semakin hari semakin meredup.
Cinta, kapan dia datang. Ku rindu. Bukan karena dia pernah hadir lalu pergi dan berjanji akan kembali. Namun karena, terasa seolah aku pernah merasakannya sewaktu masih seumur jagung muda. Ya, cinta Ayah dan Ibu.
Sesaat terlintas, bagaimana kelak cinta halal nan sejati menyapaku sedangkan aku tak pernah lagi merasakannya, sebab sudah dirampas oleh adikku terkecil. Namanya saja aku telah menjadi seorang wanita, 20 tahun sudah mengecap pahit manis asam asin hidup dunia ini, cinta orang tua telah menjadi do'a untuk setiap harinya dalam masa depanku. Tak seperti ketika bayi.
Haruskah aku belajar mengambil kursus feelings management and love behavior? Entahlah. Que sera, sera.
Terlintas lagi, terpikir sekali, Cinta Allah-lah yang sejati. Penyembuh dari segala penyakit hati. Ya, jatuh cinta itu penyakit. Obatnya? Ingatlah Allah, atau, menikahlah. Menikah itu intinya mendewasakan diri, katanya. Hmm. Belum tepat waktu shalatku, rasanya belum layak berkata diri dewasa untuk menikah. Sudahlah, ku akhiri saja malam dingin ini dalam bed cover setebal lemak beruang kutub.
Cinta, kapan dia datang. Ku rindu. Bukan karena dia pernah hadir lalu pergi dan berjanji akan kembali. Namun karena, terasa seolah aku pernah merasakannya sewaktu masih seumur jagung muda. Ya, cinta Ayah dan Ibu.
Sesaat terlintas, bagaimana kelak cinta halal nan sejati menyapaku sedangkan aku tak pernah lagi merasakannya, sebab sudah dirampas oleh adikku terkecil. Namanya saja aku telah menjadi seorang wanita, 20 tahun sudah mengecap pahit manis asam asin hidup dunia ini, cinta orang tua telah menjadi do'a untuk setiap harinya dalam masa depanku. Tak seperti ketika bayi.
Haruskah aku belajar mengambil kursus feelings management and love behavior? Entahlah. Que sera, sera.
Terlintas lagi, terpikir sekali, Cinta Allah-lah yang sejati. Penyembuh dari segala penyakit hati. Ya, jatuh cinta itu penyakit. Obatnya? Ingatlah Allah, atau, menikahlah. Menikah itu intinya mendewasakan diri, katanya. Hmm. Belum tepat waktu shalatku, rasanya belum layak berkata diri dewasa untuk menikah. Sudahlah, ku akhiri saja malam dingin ini dalam bed cover setebal lemak beruang kutub.